guru figur teladan

Pendidikan formal merupakan pendidikan yang diwajibkan untuk diikuti oleh setiap orang terutama manusia muda (baca : peserta didik). Dan salah satu factor penunjang keberhasilan pendidikan adalah peranan pendidik (guru). Tidak jarang pembahasan tentang tugas dan peran guru menjadi bahan perbincangan yang serius ketika muncul masalah-masalah pada diri siswa di sekolah. Gurulah yang pertama ditegur, kenapa begini dan kenapa begitu sehingga problem-problem bermunculan. Disisi lain sangat sedikit sekali bahkan hampir tidak pernah setiap guru teladan mendapat penghargaan dari berbagai pihak ketika guru telah menunjukkan prestasinya.
Sebagai profesi lainnya, diakui atau tidak, guru juga pasti memiliki keberhailan dan kelemahan. Kekurangan guru diantaranya ialah 1) akademik yang kurang memadai; 2) kurang professional; 3) kurang memahami ilmu pendidikan (paedagogig); 4) minimnya semangat belajar, berinovasi dan berkreasi; 5) memandang sebagai profesi belaka. Ironisnya lagi, para guru lebih suka berdemo turun ke jalan untuk menyampaikan aspirasi menuntut ini dan itu daripada mengemukakan ide dan gagasan melalui pena/tulisan. Memang langkah unjuk rasa semacam itu tidak salah, tetapi juga bukan satu-satunya cara yang efektif dan efisien untuk menyampaikan keluhan-keluhan dan ketimpangan yang terjadi di dunia pendidikan (sekolah).
Sebuah surat kabar lokal mengabarkan bahwa sebanyak sebelas ribuan guru, hanya 0,05% saja yang telah melakukan pengembangan profesi dengan membuat karya ilmiah atau penelitian (Radar Pekalongan, 29/5/2009). Dilaporkan harian ini pula, minat guru minim karena para guru masih terjebak dengan rutinitas mengajar yang dilakukan setiap hari di kelas. Dan pola pengajaran guru masih konfensional tanpa mencoba kreatifitas dengan mengembangkan penelitian yang mampu meningkatkan mutu pengajarannya di kelas. Tampaknya, budaya bertutur, berceramah dan bercerita seolah mendominasi dan berurat akar dikalangan guru sehingga sulit untuk membiasakan diri dengan menulis atau meneliti secara sistematis, tak sekedar mencatat bahan ajar di kelas.
Melihat beberapa permasalahan diatas, maka untuk mendeteksi dan menganalisa tentang keprofesionalitasan guru, agaknya perlu diketahui bagaimana sebenarnya tugas utama guru? Bagaimana kualifikasi kompetensi profesional guru? Bagaimana agar menjadi guru teladan dan ideal?
Tugas Guru
Secara garis besar, tugas pokok guru (seperti dikemukakan Uzair Usman, 2002) terbagi dalam 3 bagian yakni; pertama tugas sebagai profesi. Tugas ini meliputi mendidik, mengajar, dan melatih. Mendidik berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup. Mengajar berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan melatih berarti mengembangkan ketrampilan siswa. Kedua, tugas guru merupakan tugas kemanusiaan. Hal ini berarti guru sebagai orang tua kedua di sekolah, yang mana guru menganggap siswanya seperti anak sendiri. Dan ketiga, tugas guru dibidang kemasyarakatan. Yakni bahwa masyarakat menempatkan guru ditempat yang terhormat dilingkungannya, karena dari seorang guru itulah, masyarakat dapat memperoleh ilmu pengetahuan. Bahkan Tuhan berjanji akan mengangkat derajad orang yang berilmu dan beriman (lihat QS. 58:11).
Lebih jauh, tugas utama profesi guru bukan hanya cukup memahami materi yang harus disampaikan, akan tetapi juga diperlukan kemampuan dan pemahaman tentang pengetahuan dan ketrampilan lainnya, seperti psikologi perkembangan manusia (Wina Sanjaya, 2000). Tugas guru lainnya adalah mempersiapkan generasi manusia yang dapat hidup dan berperan aktif di masyarakat. Juga, guru memberi support, mencari bakat, membimbing dan mengarahkan anak didiknya. Maka dari itu, perkembangan profesionalisme guru menjadi perhatian secara global karena guru memiliki tugas dan peran bukan hanya memberikan informasi-informasi ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan juga membentuk sikap dan jiwa yang mampu bertahan dalam era hiperkompetensi (Joko Susilo, 2007).
Dengan kata lain pekerjaan guru bukanlah pekerjaan statis, tetapi pekerjaan dinamis yang selamanya harus sesuai dan menyesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu, guru diharapkan mempunyai sikap ingin tahu sehingga dapat mendorong para guru untuk serius belajar, dan guru akan mendapat motifasi untuk berkembang terus menerus, seperti keinginan membaca sehingga guru menemukan hubungan antar teks dan konteks sebuah bacaan. Agar guru dapat memiliki jiwa inovatif dan kreatif, maka hendaknya ada pengarahan, bimbingan sedemikian rupa, kerana selain sebagai pengajar, guru juga termasuk manusia pembelajar. Meminjam istilah Nistain Odop (2006), ilmu tidak pernah usang, semakin kita sering belajar semakin kita pandai.
Seperti yang kita tahu bahwa tugas dan tanggung jawab profesi guru cukup berbeda dengan profesi lainnya. Profesi yang berbasis ilmu-ilmu keras tertentu benar-benar mengondisikan penyandang profesi itu untuk melakukan praktik-praktiknya berdasarkan teori keilmuannya (Sudarwan Danim, 2002). Sebagi contoh, seorang fisikawan yang didukung oleh sains yang kompleks, tradisi otoritas professional yang tercakup, institusi yang kuat dan kurang berpengaruh serta kesejahteraan pribadi. Dan guru dilatih menjadi spesialis untuk membantu memecahkan masalah-masalah keseharian dalam berhubungan dengan siswa.
Pada umumnya, untuk menjadi guru teladan terutama di sekolah itu gampang-gampang susah. Sebagi contoh, ada kecenderungan yang menarik di dunia persekolahan kita, guru yang dielu-elukan, dipuji dan diberi gelar sebagai guru yang baik adalah guru yang murah dalam memberi nilai dan gaul dalam arti mau terlibat langsung dengan aktifitas murid, serta menuruti semua keinginan siswa (Kompas, 10/9/2008). Padahal guru memiliki peran lain yang sangat penting yaitu dalam pembentukan karakter anak didik. Guru seyogyanya juga mengajar dengan ikhlas, tidak semata-mata untuk mendapatkan upah, balasan, dan ucapan terima kasih (atau pujian) dari anak didik. Disamping itu, guru seharusnya mengajar dengan kasih sayang, tidak dengan kekerasan, ejekan dan sindiran, serta guru mengamalkan ilmunya dan jangan sampai perkataannya membohongi perbuatannya. Pendek kata, guru boleh keliru atau salah, tetapi tidak boleh berbohong dengan sengaja. Sebaliknya, guru harus jujur dan rendah hati serta sopan santun dalam bertutur dan bertindak.
Kompetensi Profesional
Guru termasuk salah satu tenaga yang profesional yang memiliki beberapa tugas tertentu. Dalam UU RI No.2 Tahun 2003 disebutkan bahwa pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas 1) merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran; 2) menilai hasil pembelajaran; 3) melaksanakan bimbingan dan pelatihan; 4) melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi. Kelihatannya tugas guru sederhana tetapi sejatinya cukup berat untuk dilaksanakan oleh sebagian guru.
Masalah yang muncul sekarang adalah kelemahan utama yang ada pada guru yang berupa kurangnya di bidang pengembangan profesi. Bagi guru yang telah memenuhi kualifikasi akademik saja masih banyak kesulitan atau kekurangan kemampuan dalam pengembangan profesi akademiknya maupun pengembangan profesinya (Welas Waluyo, 2007), seperti keikutsertaan lomba akademik, penyusunan buku, penulisan artikel di media cetak, dan seperti penelitian dan pengabdian masyarakat. Hal itu (mungkin saja) disebabkan karena kesulitan dan kemalasan pada diri pribadi guru, sikap egoisme yang berlebihan, tidak mau bertanya dan belajar. Kendala karena kurang minatnya membaca dan menulis, serta lainnya yang intinya minimnya motifasi untuk menciptakan karya ilmiah yang dapat menunjang profesi guru.
Guru profesional dituntut sedikitnya memiliki tiga kecakapan (Wawasan, 14/12/2008) yaitu pertama, kompetensi kognitif, yang meliputi pengetahuan kependidikan dan pengetahuan mata pelajaran yang akan diajarkan guru. Kedua, kompetensi efektif yang meliputi perasaan dan emosi, yakni sikap dan perasaan diri yang berkaitan dengan profesi keguruan. Dan ketiga, kompetensi psikomotor, yang meliputi ketrampilan/ kecakapan yang bersifat jasmaniah, yang pelaksanaannya berhubungan dengan tugasnya selaku pengajar. Untuk diikuti sebagai bagian dari kompetensi profesional guru, ketrampilan (atau kompetensi-kompetensi) itu harus dapat dipraktekkan berulang-ulang walau bentuknya tidak sama persis tetapi sesering mungkin bukan hanya kebetulan terjadi satu kali (Wragg, 1997).
Pada bagian lain, sebagai sebuah profesi, sudah sewajarnya guru diperlakukan secara profesional sesuai dengan hak-hak profesionalnya, termasuk kesejahteraan. Namun demikian, guru juga harus menepati kewajiban-kewajiban secara baik, penuh tanggung jawab dan profesional (Agus Mutohar, 2008). Guru juga sebagai pemimpin (manajerial) yang memimpin, mengendalikan diri, upaya mengarahkan, pengawasan, pengorganisasian, pengontrolan dan partisipasi atas program yang dilakukan (Abdul Khobir, 2007). Di sini guru dituntut untuk dapat mengatur dan mengelola situasi dan kondisi siswa (di kelas dan di sekolah) sedemikian rupa agar proses belajar mengajar berjalan dengan mulus dan menyenangkan sehingga pemindahan materi ilmu pengetahuan dapat diterima dengan baik oleh peserta didik.
Ada dua bentuk strategi keteladanan para guru, yaitu pertama, yang disengaja dan dipolakan sehingga sasaran dan perubahan perilaku dan pemikiran anak sudah direncanakan dan ditargetkan, yaitu seorang guru sengaja memberi contoh yang baik kepada muridnya supaya dapat menirunya. Kedua, yang tidak disengaja, dalam hal ini guru terampil sebagai figur yang dapat memberikan contoh dalam kehidupannya sehari-hari (Radar Pekalongan, 25/5/2009). Namun pada umumnya, guru (dosen dan para ahli pendidikan) di negeri ini mengajarkan kehidupan pragmatis dan konsumtif, maka hasilnya kita menjadi orang yang sangat mengagungkan semua penyelesaian semua masalah ini dengan cara pragmatis, instant, tidak mau bersusah payah, tidak mau antri, tidak mau sesuai prosedur, bahkan beberapa hal kita sudah tidak peduli lagi dengan proses (A. Khoirudin, 2005). Contohnya guru menyuguhkan soal dengan format multiple choice (pilihan ganda) dengan alasan mudah mengoreksinya.
Oleh sebab itu, guru yang teladan harus profesional dalam menjalankan segala tugasnya (utamanya) sebagai pendidik, tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan norma-norma yang berlaku dan tentunya memiliki setidaknya empat kompetensi, yakni kompetensi pedagogik, kompetensi akademik, kompetensi sosial dan kompetensi kepribadian (Joko Susilo, 2007). Dengan kompetensi pedagogik, memungkinkan guru dapat menggunakan metode mengajar dan mendidik dengan benar. Kompetensi akademik yang menggambarkan seseorang memiliki kemampuan berpikir secara ilmiah. Sedangkan dengan adanya kompetensi sosial dan kepribadian, diharapkan guru memiliki jiwa sosial, kepedulian yang tinggi terhadap masyarakat dan juga memiliki karakter dan moral yang mulia.
Syarat kepemilikan empat kompetensi diatas, bukanlah persoalan mudah manakala dimaknai tidak sekedar dimensi teoritis, tetapi lebih pada dimensi praktis (Rosidah, 2004). Kompetensi pedagogik mengharuskan guru mempunyai jiwa pendidik yang mendarah daging. Artinya, nilai-nilai pendidikan tidak sekedar dihafal secara teoritis, tetapi telah menjadi bagian dari perilaku dirinya. Begitu pula dengan kompetensi kepribadian mengisyaratkan adanya kepemilikan pribadi yang paripurna (insan kamil). Dengan demikian diharapkan pribadi guru menjadi personifikasi nilai-nilai, bukan sekedar kamuflase sehingga menjadi contoh nyata yang dapat diteladani siswa. Kompetensi sosial tentu bermakna lebih luas lagi, guru dituntut untuk mampu berperan maksimal dan ideal dalam berbagai tatanan pergaulan dengan berbagai kalangan dan fariasi pandangan. Kompetensi profesional menyangkut bidang profesinya misalnya guru Bahasa Inggris harus mampu membuat desain pembelajaran Bahasa Inggris, mengajarkannya, mengadakan pengamatan proses dan mengevaluasinya.
Guru Ideal
Menurut Ruslan (2008) ada tiga jenis tatanan utama yang harus diahadapi dan harus mampu diatasi sosok seorang pendidik dan melaksanakan tugas kependidikannya, yakni tantangan umum, tantangan sosial dan tantangan profesi di lembaga pendidikan dalam menghidupi diri dan keluarganya. Untuk mengatasi ketiga tantangan tersebut tidaklah bijak jika seluruh upaya dibebankan hanya diatas pundak pendidik saja, tetapi wajib melibatkan partisipasi penuh dari pihak pemerintah, orangtua peserta didik dan masyarakat pada umumnya. Ketidakmampuan sosok seorang pendidik dalam mengatasi ketiga jenis tantangan tersebut akan mengakibatkan rendahnya kualitas lulusan dan kualitas pendidikan pada umumnya, serta menurunnya nilai-nilai peradaban bangsa di masa depan.
Memang dalam masalah ekonomi, seorang guru juga membutuhkan pemenuhan kesejahteraan agar ia tidak kesulitan untuk membentuk kualitasnya sebagai seorang pengajar (Nurani Soyomukti, 2008). Bagaimana mungkin seorang guru akan membaca buku-buku dan belajar giat untuk menambah stock of knowledge jika untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari tidak cukup. Padahal apabila guru mengetahui sejumlah ilmu pengetahuan yang luas, maka guru seharusnya bisa menjadi teladan bagi peserta didik, karena pada dasarnya guru adalah representasi dari sekelompok orang pada suatu komunitas atau masyarakat yang diharapkan dapat digugu dan ditiru, diikuti dan dicontoh (Hamzah B Uno, 2007).
Oleh karena itu, agar proses pembelajaran berhasil dan mutu pendidikan meningkat, maka diperlukan guru yang memahami dan menghayati profesinya, dan tentunya guru yang memiliki wawasan pengetahuan dan ketrampilan sehingga membuat proses pembelajaran aktif, guru mampu menciptakan suasana pembejaran inovatif, kreatif dan menyenangkan. Untuk menjadi guru profesional juga memerlukan pendidikan dan pelatihan serta pendidikan khusus (Isjoni, 2007). Motifasi lain yang mendorong perlunya dilakukan bergagai bentuk pendidikan dan pelatihan, karena informasi diperoleh bahwa masih banyak daerah-daerah yang belum menjadikan pendidikan dan pelatihan terhadap guru sebagai suatu kebutuhan mendasar. Bahkan masih ada kita mendengar guru-guru yang belum pernah sekalipun mengikuti pendidikan dan pelatihan terutama guru-guru yang bertugas di daerah marjinal atau terpencil. Banyak guru bantu dan sukarela mengabdi disekolah dengan honor yang sangat tidak mencukupi, bahkan ada yang tidak mendapat gaji/tunjangan apapun. Karena sangat terbatasnya fasilitas-fasilitas belajar mengajar dipelosok desa, tentu saja mempengaruhi terhambatnya pengembangan kompetensi profesional pada guru. Akan tetapai terlepas dari segala kekurangan yang ada, pengorbanan para guru di pedalaman ini pantas dapat penghargaan khusus dari berbagai pihak.
Ciri pokok profesional adalah apabila seseorang memiliki komitmen yang mendalam terhadap tugasnya (Martinus Yamin, 2008). Kecintaan terhadap tugas ditunjukkan dalam bentuk curahan tenaga, waktu dan pikiran serta penerapan disiplin yang baik dan kuat dalam proses pendidikan akan menghasilkan mental, watak dan kepribadian yang kuat. Karena itu diharapkan para lulusan lembaga pendidikan guru di masa mendatang dapat menunjukkan dirinya sebagai guru otonom dan profesional dengan daya kreatifitas yang tinggi dalam mengelola pembelajaran, inovatif dalam bidangnya dan bidang lainnya, serta tidak pernah puas bila sudah mengajarkan bahan pelajaran (Paul Suparno dkk, 2001). Guru yang otonom berarti guru yang juga sebagai pemikir dan perancang bahan pelajaran yang kritis dan analitis serta berani mengungkapkan berbagai gagasan kreatifnya.
Disamping itu, guru seharusnya dinamis, bersemangat untuk selalu mencari dan mempelajari ilmu pengetahuan dan teknologi, dan ketrampilan terkini yang selalu berkembang setiap hari. Dalam istilah Drost (1998) dikatakan sebagai on going formation, menyempatkan diri dengan penuh gairah untuk belajar terus menerus. Dan cara yang baik bukan lewat penataran, tetapi lewat membaca buku atau majalah profesional, mengikuti kursus lisan dan tertulis, mengikuti lokakarya dan seminar yang berbobot, yang mana cara-cara ini menuntut adanya semangat, ketekunan dan rasa tanggung jawab.
Selain hal itu, guru sejatinya memiliki sejumlah kecerdasan untuk membantu menjadi tenaga profesional. Tingkat kecerdasan seseorang diukur dengan keintelektualan, emosional, sosial, moral dan spiritual. Seorang guru yang pada dirinya terdapat kecerdasan-kecerdasan tersebut, ia patut diberi apresiasi dengan sebutan guru ideal (dan profesional). Selanjutnya, karakteristik guru ideal diantaranya adalah 1) guru mampu memahami dan melaksanakan tugas dan perannya dengan baik dan benar; 2) kompetensi profesional, materi, metode, psikologi, pengembangan profesi (seperti karya ilmiah dan karya tulis); 3) guru sebagai pengajar dan juga pembelajar. Karena ada suatu hal yang guru tidak tahu dan dia tahu bahwa dia tidak tahu, maka dia sendiri merupakan subyek pembelajaran (E. Mulyasa, 2006). Oleh karenanya dengan kesadaran bahwa guru tidak mengetahui sesuatu, maka dia berusaha mencarinya melalui kegiatan penelitian. Dalam hal ini Paulo Friere (2001) menyatakan bahwa pendidikan yang membebaskan adalah situasi dimana guru dan siswa sama-sama harus belajar, sama memiliki subyek kognitif, selain juga sama memiliki perbedaan; 4) mengikuti proses kemajuan zaman, inovatif, kreatif dan menggunakan alat peraga yang bervariasi; 5) memiliki spiritual yang tinggi seperti disebutkan Al-Ghazali bahwa guru hendaknya memberikan nasehat dan bimbingan kepada murid berorientasi bahwa tujuan menuntut ilmu adalah mendekatkan diri kepada Allah bukan untuk memperoleh kedudukan dan kebahagiaan dunia. Walla ’alam.

Tinggalkan komentar